Gus Dur, Kapitalisme, dan Moral
5 Oktober 2006
Oleh; Jamal Ma'mur Asmani,Â
Pengurus Harian Robithoh Ma'ahid Islamiyah Cabang Pati.
TERIMA kasih kepada Ichwan Ar. fungsionaris DPW PKB Jateng yang merespons tulisan saya. Ada dua pokok pikiran yang disampaikan Ichwan. Pertama, Gus Dur sama sekali tidak keluar dari asas NU ala ahlus sunnah wal jama'ah, justru Gus Dur lah yang konsisten memperjuangkan implementasi nilai NU tersebut yang menitikberatkan inklusivitas, moderasi, keadilan, dan kejujuran.
Kedua, sekuralisme tidak membawa implikasi negatif, justru sekularisme adalah jendela rasionalisasi menuju pencerahan dan keadaban. Untuk merespons pemikiran Ichwan, saya ingin menggunakan tiga kata kunci, Gus Dur, kapitalisme, dan moral.
Sebagai sesama warga NU memang tidak bisa dipungkiri, kontribusi Gus Dur luar biasa dalam proses dinamisasi pemikiran, revitalisasi khasanah klasik, dan diversifikasi peran NU dalam konteks kebangsaan dan dunia.
Jasa Gus Dur tidak ternilai. Menurut Ulil Abshor Abdalla (1999), Gus Dur bagi NU ibarat jendela, ia berfungsi sebagai alat melihat dunia luar yang selama ini "asing" bagi warga NU, juga sebagai seleksi hal-hal "eksternal" sebelum dikonsumsi warga NU.
Gus Dur mampu menjadi pelindung kultural dan struktual bagi dinamika pemikiran NU yang berkembang dengan pesat. Pemikiran progresif Gus Dur menjadi sumber inspirasi, imajinasi, dan motivasi anak muda NU yang bergulat dalam dunia intelektualitas dan pengembangan masyarakat.
Saya sangat apresiatif terhadap pemikiran progresif Gus Dur, misalnya soal kesempurnaan Islam, sikap ramah terhadap orang Yahudi-Nasrani dan Konsep Kafir, dinamisasi fikih dan ushul fiqh, wawasan keadilan dan pluralisme, martabat wanita, dan pribumisasi Islam (Mujamil Qomar, 2000:168-177).
Moral Identik Perilaku
Lewat progresivitas inilah, warga NU menjadi tercerahkan, merangsek ke level menengah, dan mewarnai dunia intelektualitas kota yang selama ini dimonopoli kaum modernis.
Namun harus disadari, koreksi atau dalam bahasa Cak Nur tawashaw bil haq, adalah suatu keniscayaan. Hal ini juga dalam rangka menghindari kultus individu yang membahayakan obyektivitas dan integritas.
Point utama tulisan saya adalah masalah moral, suatu nilai sakral dan ending dari misi kerasulan Nabi Muhammad sesuai hadisnya innama buitstu liutammima makarimal akhlaq.
Moral identik dengan perilaku, perbuatan, dan sepak terjang manusia selama hidup. Moral personal akan mempengaruhi moral sosial, moral sosial akan mempengaruhi moral bangsa, dan moral bangsa akan mempengaruhi moral dunia.
Moral akan membentuk tradisi dan kebudayaan. Kebudayaan akan membentuk warna ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik. Moral adalah kata kunci misi Islam.
Di tengah globalisasi dengan ciri utamanya "kapitalisme", moral Islam habis dibabat nilai konsumerisme, materialisme, permisivisme, hedonisme, yang semua itu bermula dari sekularisme, sebagai starting point hilangnya Èlan transformatif Islam dalam wilayah publik. Islam hanya dilarikan pada level individu.
Realitas minor ini disebabkan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ekspansional dan spektakuler Barat.
Struktur sosial dan kultural saat ini sudah tidak mampu lagi membendung fenomena krusial. Para ulama kehilangan "legitimasi dan karisma moralnya" di tengah kompetisi ekonomi dan teknologi, sehingga umat Islam lebih terbius "kemajuan" Barat yang menjanjikan kenikmatan, kepuasan, liberalitas, progresivitas, dan hedonitas daripada fatwa moral yang sifatnya imbauan saja, tanpa sanksi.
Mayoritas umat Islam silau akan kemajuan peradaban Barat lalu mengambilnya secara utuh, tanpa koreksi dan seleksi terlebih dahulu. Pengaruh keilmuan dan teknologi memang luar biasa.
Dr. Jalaluddin Rahmat pernah menceritakan kisah yang dialami seorang antropolog Amerika, Edmund Carpenter ketika datang ke Sio Irian. Ia memperkenalkan teknologi komunikasi modern-kamera, tape recorder, proyektor dan sebagainya.
Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan tempat itu. Ketika ia kembali, ia menemukan beberapa hal yang menakjubkan. Masyarakat setempat berpakaian seperti orang Eropa, dan perilaku mereka juga berubah.
Mereka telah tercerabut dari pengalaman kesukuan mereka dan berubah menjadi individu yang lepas satu sama lain, terasing, frustasi, dan tidak lagi menjadi bagian dunia mereka sebelumnya. Teknologi telah mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan mereka.
Saat ini kendali peradaban ada pada sektor ekonomi. Kapitalisme menjadi "raja" absolut, politik tidak berdaya. Sedangkan pengaruh kapitalisme menurut Dr. Kuntowijoyo (1991:174), adalah membebaskan lapangan ekonomi dari intervensi agama.
Usaha dari pihak agama untuk "menaklukkan" kembali sektor ekonomi atas nama tradisionalisme politik keagamaan akan selalu dianggap sebagai bahaya terhadap kelangsungan tata ekonomi itu sendiri.
Dari semata-mata sekularisasi ekonomi, proses itu dapat mengalami difusi dan merembes ke dalam lingkungan politik, sehingga sanksi legitimasi keagamaan terhadap negara sudah sama sekali tidak diperlukan atau hanya menjadi sebutan retorik saja tanpa mempunyai dasarnya dalam kenyataan sosial.
Agama mengalami "krisis kredibilitas". Definisi agama tentang realitas tidak akan mendapat tempat lagi, sehingga agama berhenti sebagai kekuatan sejarah, sebagai sebuah variabel yang merdeka.
Dalam konteks ini Gus Dur (1989:10-13) memang menginginkan moral Islam menjadi etika sosial tanpa diundangkan oleh negara. Namun di tengah gempuran kapitalisasi dan liberalisasi semua aspek kehidupan, moral, ekonomi, budaya, dan politik, moral umat Islam inferior berhadapan dengan kemajuan teknologi Barat.
Akhirnya mereka terbawa arus, kehilangan identitas dan jati diri, terhipnotis peradaban Barat.
Seks bebas, pergaulan bebas, narkoba, miras, lesbianisme, homoseksual, dan lain sebagainya menjadi pemandangan yang bisa kita jumpai setiap saat. Desakralisasi moral menjadi realitas sosial yang sulit untuk dibendung.
Struktur sosial dan kultural saat ini sudah tidak mampu lagi membendung fenomena krusial ini. Para ulama kehilangan "legitimasi dan kharisma moralnya" di tengah kompetisi ekonomi dan teknologi sekarang ini, sehingga umat Islam lebih terbius "kemajuan" Barat yang menjanjikan kenikmatan, kepuasan, liberalitas, progresivitas, dan hedonitas dari pada fatwa moral yang sifatnya himbauan saja, tanpa sanksi.
Mission impossible implementasi moral agama pada wilayah individu dan sosial saat ini tanpa bantuan negara. Efek dan implikasi proyek globalisasi informasi, kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi pada moral umat manusia sudah sangat dahsyat. Ia tidak mampu diantisipasi oleh kelompok kultural yang selama ini getol berjuang di level civil society.
Mereka tidak berdaya menghadapi superioritas, dominasi, hegemoni, dan determinasi peradaban Barat yang hedonis-permisif lewat liberalisasi ekonomi dan informasi.
Oleh sebab itu sangat logis apabila para kiai NU mendukung RUU APP, menolak terbitnya Playboy, mengharamkan acara infotainment, dan hal-hal yang berbau erotis, sensual, dan seksual.
Ia akan menambah angka degradasi dan dekadensi moral yang akut di negeri ini. Jika moral hancur, maka hancurlah negara.
Sekularisme bukan alat "kritik" dalam Islam kalau hasilnya justru liberalisasi semua ajaran Islam. Menuhankan antoposentrisme dan humanisme, mengabaikan moral agama. Islam sudah punya alat sendiri untuk dinamisasi, rasionalisasi, dan revitalisasi keilmuannya, tanpa terkena virus "sekularisme" yang membahayakan moral publik.
Ide Kuntowijoyo
Salah satu contoh pengembangan rasionalisasi Islam adalah lima ide reinterpretasi Kuntowijoyo (1991), Pertama, perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih dari pada penafsiran individual ketika memahami ketentuan tertentu di dalam Alquran. Misalnya ketika membaca ayat yang melarang hidup berlebih-lebihan. Dalam tataran individual, Islam mengutuk individu yang suka berfoya-foya, banyak mempunyai vila di Puncak, atau menyimpan banyak deposito di bank luar negeri.
Dalam konteks sosial, perlu dilacak sebab struktural gejala hidup mewah dalam konteks sistem sosial dan sistem ekonomi.
Dari sinilah kita akan mendapat fakta kapitalisasi, akumulasi kekayaan, dan pemilikan sumber-sumber penghasilan atas dasar etika keserakahan.
Kedua, mengubah cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif. Zakat, misalnya, secara subjektif bertujuan untuk "membersihkan harta", namun secara objektif adalah tercapainya kesejahteraan sosial. Sama ketika berbicara larangan riba. Secara subjektif adalah larangan "penindasan terselubung". Secara objektif berarti segala macam hegemoni dan dominasi pada kelas ekonomi bawah.
Pada level aktual kita dituntut mengembangkan bentuk institusi bank yang bebas bunga yang tidak menggunakan rente, untuk membantu pemilikan modal bagi kelas ekonomi lemah. Semua ini untuk menegakkan egalitarianisme ekonomi yang menjadi cita objektif Islam.
Ketiga, mengubah Islam normatif menjadi teoritis. Misalnya konsep miskin yang selama ini kita hanya terpaku pada orang yang patut dikasihani, diberi zakat, infak, dan sedekah.
Ini dapat dikembangkan tentang siapa sesungguhnya yang dimakud miskin; pada kelas sosial dan ekonomi apa mereka berada; bagaimana cara mengentaskan mereka dsb .
Keempat, mengubah pemahaman ahistoris menjadi historis. Misalnya kisah tentang Israel yang tertindas pada zaman FirÃ'aun hanya dipahami pada masa itu. Kita tidak pernah berpikir apa yang disebut kaum tertindas sepanjang masa dan ada pada sistem sosial apa. Sedangkan pada zaman feodalisme sekarang, pada sistem kapitalisme dan sosialisme, selalu terdapat orang-orang yang disebut mustadh'afin (tertindas).
Kelima, bagaimana merumuskan formula wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi spesifik dan empiris.
Misalnya kecaman Allah pada orang yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya di kalangan kaum kaya. Ini pernyataan umum dan normatif. Kita harus membidiknya secara spesifik dan empiris pernyataan Allah tersebut pada kasus monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi politik, adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lingkungan elite yang berkuasa.
Dengan spesifikasi dan empirisasi ini, pemahaman kita menjadi kontekstual, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial.
Metode reinterpretasi seperti Kuntowijoyo inilah yang layak kita apresiasi, ia tidak tercerabut oleh akar, tapi justru berpijak pada akar dan mengembangkannya secara dinamis dan kontekstual. Bukan mengambil metode orang lain secara membabibuta, menjelekkan doktrin agama sendiri, dan hasil akhirnya justru liberalisasi moral yang berujung dekadensi. (Telah dimuat di Suara Merdeka, 22/09/06, IC)