GUS DUR

blog tentang gus dur. baik artikel ataupun foto-foto tentang gus dur. thanks

  • Welcome Message

Gus Dur: Bapak Pluralisme Dunia

Posted by hanikhusna123.blogspot.com On 02.02 0 komentar

Gus Dur: Bapak Pluralisme Dunia


Perspektif Online


21 September 2006


Syafi'i Anwar mengatakan bahwa Gus Dur adalah bapak pluralisme Indonesia. Wimar Witoelar menambahkan bahwa beliau sebetulnya juga adalah bapak plularisme dunia, mengingat bahwa dunia kini kekurangan tokoh pluralisme dan bahkan didominasi oleh pemimpin eksklusif dari semua pihak.


Kedua pernyataan ini keluar pada dalam peluncuran buku 'Islamku, Islam Anda, Islam Kita' karya Gus Dur. Pluralisme dan Pembelaan adalah dua kata kunci dalam kumpulan tulisan Abdurrahman Wahid ini. Tulisan berangkat dari perspektif korban, terutama minoritas agama, gender, keyakinan, etnis, warna kulit, posisi sosial. 'Tuhan tidak perlu dibela,' kata Gus Dur, tapi umatNya atau manusia pada umumnya justru perlu dibela. Salah satu konsekwensi dari pembelaan adalah kritik, dan terkadang terpaksa harus mengecam, jika sudah melewati ambang toleransi.


Komentar Syafi'i Anwar dan Wimar Witoelar disusul pula oleh Bambang Harymurti dan akhirnya Abdurrahman Wahid sendiri pada acara peluncuran buku 'Islamku, Islam Anda, Islam Kita' sekaligus perayaan hari ulang tahun kedua The Wahid Institute. Hadir di Hotel Aryaduta tgl 21 September malam antara lain (berdasarkan abjad) Bambang Harymurti, Dawam Rahardjo, Erlan Suparno (Menteri Tenaga Kerja), Hariman Siregar, Jaya Suprana, Luhut Panjaitan (mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan), Mahfud MD (mantan Menteri Pertahanan), Marsillam Simandjuntak (mantan Sekkab dan Jaksa Agung), Dr. Nikolaos van Dam (Duta Besar Belanda), Rosiana Silalahi, Roy BB Janis, Sarwono Kusumaatmadja, Shaban Shahidi Moaddab (Duta Besar Iran), Todung Mulya Lubis, dan Taufik Kiemas.


Dalam sambutannya selaku pemberi Kata Pengantar buku tersebut, Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP) M. Syafi'i Anwar mengatakan sejak awal Gus Dur memihak kelompok minoritas. Komitmen itu ditujukkan dengan bukti sehingga Indonesia tetap menjadi negara plural. Karena itu Gus Dur adalah Bapak Pluralisme Indonesia.


Pendapat tersebut didukung Wimar Witoelar. Berbicara sebagai kolega dan sahabat keluarga Gus Dur, Wimar mengatakan Gus Dur bukan hanya Bapak Pluralisme Indonesia tetapi juga sudah menjadi Bapak Pluralisme Dunia. Saatnya tepat karena dunia saat ini sedang kehilangan tokoh-tokoh pluralisme dan sebaliknya didominasi oleh tokoh yang bersikap eksklusif.


Wimar mengingat kembali waktu menemani Gus Dur selama dan setelah masa kepresidenannya. Setiap kunjungan ke luar negeri seperti Melbourne dan Washington, masyarakat di sana sangat menyambut hangat kehadiran Gus Dur. Justru dukungan ini terasa setelah Gus Dur tidak lagi menjabat Presiden. Bagi dunia tidak penting perkembangan politik di Indonesia, tapi mereka melihat Indonesia sebagai pusat pluralisme karena ketokohan Gus Dur dalam bersahabat dengan semua golongan. Satu contoh respek luar negeri adalah sambutan luarbiasa yang diberikan kepadanya dengan ditunjuk menjadi keynote speaker pada Kongres American Jewish Committee di Washington, DC. Ditambah lagi dengan penampilannya bersama Condoleezza Rice sebagai after-dinner speaker pada penutupan acarfa terbesar kaum Jahudi di Amerika tersebut. Pada acara itu Gus Dur duduk bersama sahabatnya Uskup Agung Paris Jean-Marie Lustiger. Masyarakat dunia menaruh harapan pada Indonesia dengan sikap moderat Gus Dur yang menarik perhatian dunia setelah peristiwa 11 September 2001.


Sementara itu, Gus Dur dalam pidatonya mengatakan pluralisme yang menjadi isi buku dan roh dirinya diambil dari keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pada 1935. Muktamar memutuskan menjalankan syariat Islam tapi tidak perlu negara Islam di Indonesia. Keputusan tersebut lahir dari pemikiran kakeknya KH Hasyim Ashari dan bapaknya KH Wahid Hasyim yang melihat Indonesia sebagai negara plural. Sampai saat ini tokoh-tokoh Islam sebagian besar menolak Negara Islam. Gus Dur sangat menolak peraturan daerah berdasarkan syariah Islam yang mulai menyebar di Indonesia.


Buku 'Islamku, Islam Anda, Islam Kita' telah diminta untuk dialihbahasakan ke tujuh bahasa yaitu Jerman, Belanda, Prancis, Inggris, Jepang, Korea, dan China.


Gus Dur, Kapitalisme, dan Moral

Posted by hanikhusna123.blogspot.com On 02.01 0 komentar

Gus Dur, Kapitalisme, dan Moral


5 Oktober 2006


Oleh; Jamal Ma'mur Asmani,Â


Pengurus Harian Robithoh Ma'ahid Islamiyah Cabang Pati.





TERIMA kasih kepada Ichwan Ar. fungsionaris DPW PKB Jateng yang merespons tulisan saya. Ada dua pokok pikiran yang disampaikan Ichwan. Pertama, Gus Dur sama sekali tidak keluar dari asas NU ala ahlus sunnah wal jama'ah, justru Gus Dur lah yang konsisten memperjuangkan implementasi nilai NU tersebut yang menitikberatkan inklusivitas, moderasi, keadilan, dan kejujuran.





Kedua, sekuralisme tidak membawa implikasi negatif, justru sekularisme adalah jendela rasionalisasi menuju pencerahan dan keadaban. Untuk merespons pemikiran Ichwan, saya ingin menggunakan tiga kata kunci, Gus Dur, kapitalisme, dan moral.





Sebagai sesama warga NU memang tidak bisa dipungkiri, kontribusi Gus Dur luar biasa dalam proses dinamisasi pemikiran, revitalisasi khasanah klasik, dan diversifikasi peran NU dalam konteks kebangsaan dan dunia.





Jasa Gus Dur tidak ternilai. Menurut Ulil Abshor Abdalla (1999), Gus Dur bagi NU ibarat jendela, ia berfungsi sebagai alat melihat dunia luar yang selama ini "asing" bagi warga NU, juga sebagai seleksi hal-hal "eksternal" sebelum dikonsumsi warga NU.



Gus Dur mampu menjadi pelindung kultural dan struktual bagi dinamika pemikiran NU yang berkembang dengan pesat. Pemikiran progresif Gus Dur menjadi sumber inspirasi, imajinasi, dan motivasi anak muda NU yang bergulat dalam dunia intelektualitas dan pengembangan masyarakat.


Saya sangat apresiatif terhadap pemikiran progresif Gus Dur, misalnya soal kesempurnaan Islam, sikap ramah terhadap orang Yahudi-Nasrani dan Konsep Kafir, dinamisasi fikih dan ushul fiqh, wawasan keadilan dan pluralisme, martabat wanita, dan pribumisasi Islam (Mujamil Qomar, 2000:168-177).





Moral Identik Perilaku


Lewat progresivitas inilah, warga NU menjadi tercerahkan, merangsek ke level menengah, dan mewarnai dunia intelektualitas kota yang selama ini dimonopoli kaum modernis.



Namun harus disadari, koreksi atau dalam bahasa Cak Nur tawashaw bil haq, adalah suatu keniscayaan. Hal ini juga dalam rangka menghindari kultus individu yang membahayakan obyektivitas dan integritas.



Point utama tulisan saya adalah masalah moral, suatu nilai sakral dan ending dari misi kerasulan Nabi Muhammad sesuai hadisnya innama buitstu liutammima makarimal akhlaq.



Moral identik dengan perilaku, perbuatan, dan sepak terjang manusia selama hidup. Moral personal akan mempengaruhi moral sosial, moral sosial akan mempengaruhi moral bangsa, dan moral bangsa akan mempengaruhi moral dunia.



Moral akan membentuk tradisi dan kebudayaan. Kebudayaan akan membentuk warna ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik. Moral adalah kata kunci misi Islam.



Di tengah globalisasi dengan ciri utamanya "kapitalisme", moral Islam habis dibabat nilai konsumerisme, materialisme, permisivisme, hedonisme, yang semua itu bermula dari sekularisme, sebagai starting point hilangnya Èlan transformatif Islam dalam wilayah publik. Islam hanya dilarikan pada level individu.



Realitas minor ini disebabkan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ekspansional dan spektakuler Barat.



Struktur sosial dan kultural saat ini sudah tidak mampu lagi membendung fenomena krusial. Para ulama kehilangan "legitimasi dan karisma moralnya" di tengah kompetisi ekonomi dan teknologi, sehingga umat Islam lebih terbius "kemajuan" Barat yang menjanjikan kenikmatan, kepuasan, liberalitas, progresivitas, dan hedonitas daripada fatwa moral yang sifatnya imbauan saja, tanpa sanksi.



Mayoritas umat Islam silau akan kemajuan peradaban Barat lalu mengambilnya secara utuh, tanpa koreksi dan seleksi terlebih dahulu. Pengaruh keilmuan dan teknologi memang luar biasa.


Dr. Jalaluddin Rahmat pernah menceritakan kisah yang dialami seorang antropolog Amerika, Edmund Carpenter ketika datang ke Sio Irian. Ia memperkenalkan teknologi komunikasi modern-kamera, tape recorder, proyektor dan sebagainya.



Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan tempat itu. Ketika ia kembali, ia menemukan beberapa hal yang menakjubkan. Masyarakat setempat berpakaian seperti orang Eropa, dan perilaku mereka juga berubah.



Mereka telah tercerabut dari pengalaman kesukuan mereka dan berubah menjadi individu yang lepas satu sama lain, terasing, frustasi, dan tidak lagi menjadi bagian dunia mereka sebelumnya. Teknologi telah mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan mereka.



Saat ini kendali peradaban ada pada sektor ekonomi. Kapitalisme menjadi "raja" absolut, politik tidak berdaya. Sedangkan pengaruh kapitalisme menurut Dr. Kuntowijoyo (1991:174), adalah membebaskan lapangan ekonomi dari intervensi agama.



Usaha dari pihak agama untuk "menaklukkan" kembali sektor ekonomi atas nama tradisionalisme politik keagamaan akan selalu dianggap sebagai bahaya terhadap kelangsungan tata ekonomi itu sendiri.



Dari semata-mata sekularisasi ekonomi, proses itu dapat mengalami difusi dan merembes ke dalam lingkungan politik, sehingga sanksi legitimasi keagamaan terhadap negara sudah sama sekali tidak diperlukan atau hanya menjadi sebutan retorik saja tanpa mempunyai dasarnya dalam kenyataan sosial.



Agama mengalami "krisis kredibilitas". Definisi agama tentang realitas tidak akan mendapat tempat lagi, sehingga agama berhenti sebagai kekuatan sejarah, sebagai sebuah variabel yang merdeka.


Dalam konteks ini Gus Dur (1989:10-13) memang menginginkan moral Islam menjadi etika sosial tanpa diundangkan oleh negara. Namun di tengah gempuran kapitalisasi dan liberalisasi semua aspek kehidupan, moral, ekonomi, budaya, dan politik, moral umat Islam inferior berhadapan dengan kemajuan teknologi Barat.



Akhirnya mereka terbawa arus, kehilangan identitas dan jati diri, terhipnotis peradaban Barat.


Seks bebas, pergaulan bebas, narkoba, miras, lesbianisme, homoseksual, dan lain sebagainya menjadi pemandangan yang bisa kita jumpai setiap saat. Desakralisasi moral menjadi realitas sosial yang sulit untuk dibendung.



Struktur sosial dan kultural saat ini sudah tidak mampu lagi membendung fenomena krusial ini. Para ulama kehilangan "legitimasi dan kharisma moralnya" di tengah kompetisi ekonomi dan teknologi sekarang ini, sehingga umat Islam lebih terbius "kemajuan" Barat yang menjanjikan kenikmatan, kepuasan, liberalitas, progresivitas, dan hedonitas dari pada fatwa moral yang sifatnya himbauan saja, tanpa sanksi.



Mission impossible implementasi moral agama pada wilayah individu dan sosial saat ini tanpa bantuan negara. Efek dan implikasi proyek globalisasi informasi, kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi pada moral umat manusia sudah sangat dahsyat. Ia tidak mampu diantisipasi oleh kelompok kultural yang selama ini getol berjuang di level civil society.



Mereka tidak berdaya menghadapi superioritas, dominasi, hegemoni, dan determinasi peradaban Barat yang hedonis-permisif lewat liberalisasi ekonomi dan informasi.



Oleh sebab itu sangat logis apabila para kiai NU mendukung RUU APP, menolak terbitnya Playboy, mengharamkan acara infotainment, dan hal-hal yang berbau erotis, sensual, dan seksual.


Ia akan menambah angka degradasi dan dekadensi moral yang akut di negeri ini. Jika moral hancur, maka hancurlah negara.



Sekularisme bukan alat "kritik" dalam Islam kalau hasilnya justru liberalisasi semua ajaran Islam. Menuhankan antoposentrisme dan humanisme, mengabaikan moral agama. Islam sudah punya alat sendiri untuk dinamisasi, rasionalisasi, dan revitalisasi keilmuannya, tanpa terkena virus "sekularisme" yang membahayakan moral publik.


Ide Kuntowijoyo



Salah satu contoh pengembangan rasionalisasi Islam adalah lima ide reinterpretasi Kuntowijoyo (1991), Pertama, perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih dari pada penafsiran individual ketika memahami ketentuan tertentu di dalam Alquran. Misalnya ketika membaca ayat yang melarang hidup berlebih-lebihan. Dalam tataran individual, Islam mengutuk individu yang suka berfoya-foya, banyak mempunyai vila di Puncak, atau menyimpan banyak deposito di bank luar negeri.



Dalam konteks sosial, perlu dilacak sebab struktural gejala hidup mewah dalam konteks sistem sosial dan sistem ekonomi.



Dari sinilah kita akan mendapat fakta kapitalisasi, akumulasi kekayaan, dan pemilikan sumber-sumber penghasilan atas dasar etika keserakahan.



Kedua, mengubah cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif. Zakat, misalnya, secara subjektif bertujuan untuk "membersihkan harta", namun secara objektif adalah tercapainya kesejahteraan sosial. Sama ketika berbicara larangan riba. Secara subjektif adalah larangan "penindasan terselubung". Secara objektif berarti segala macam hegemoni dan dominasi pada kelas ekonomi bawah.



Pada level aktual kita dituntut mengembangkan bentuk institusi bank yang bebas bunga yang tidak menggunakan rente, untuk membantu pemilikan modal bagi kelas ekonomi lemah. Semua ini untuk menegakkan egalitarianisme ekonomi yang menjadi cita objektif Islam.



Ketiga, mengubah Islam normatif menjadi teoritis. Misalnya konsep miskin yang selama ini kita hanya terpaku pada orang yang patut dikasihani, diberi zakat, infak, dan sedekah.


Ini dapat dikembangkan tentang siapa sesungguhnya yang dimakud miskin; pada kelas sosial dan ekonomi apa mereka berada; bagaimana cara mengentaskan mereka dsb .



Keempat, mengubah pemahaman ahistoris menjadi historis. Misalnya kisah tentang Israel yang tertindas pada zaman Firí'aun hanya dipahami pada masa itu. Kita tidak pernah berpikir apa yang disebut kaum tertindas sepanjang masa dan ada pada sistem sosial apa. Sedangkan pada zaman feodalisme sekarang, pada sistem kapitalisme dan sosialisme, selalu terdapat orang-orang yang disebut mustadh'afin (tertindas).



Kelima, bagaimana merumuskan formula wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi spesifik dan empiris.



Misalnya kecaman Allah pada orang yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya di kalangan kaum kaya. Ini pernyataan umum dan normatif. Kita harus membidiknya secara spesifik dan empiris pernyataan Allah tersebut pada kasus monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi politik, adanya penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lingkungan elite yang berkuasa.



Dengan spesifikasi dan empirisasi ini, pemahaman kita menjadi kontekstual, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial.



Metode reinterpretasi seperti Kuntowijoyo inilah yang layak kita apresiasi, ia tidak tercerabut oleh akar, tapi justru berpijak pada akar dan mengembangkannya secara dinamis dan kontekstual. Bukan mengambil metode orang lain secara membabibuta, menjelekkan doktrin agama sendiri, dan hasil akhirnya justru liberalisasi moral yang berujung dekadensi. (Telah dimuat di Suara Merdeka, 22/09/06, IC)


Spiritualitas dalam “Karya Hidup” Zainal Arifin Thoha

Posted by hanikhusna123.blogspot.com On 02.01 0 komentar

Spiritualitas dalam "Karya Hidup" Zainal Arifin Thoha


23/03/2007


Oleh Jamal Ma'mur Asmani


Rabu, 14 Maret 2007, pukul 22.00 WIB. Seorang sastrawan kondang Yogyakarta kelahiran Kediri, Zainal Arifin Thoha, menghembuskan nafas terakhir. Penulis berbagai buku, puisi, dan novel itu menderita penyakit jantung yang tak tertolong. Kiai muda yang sangat produktif menulis di media masa sejak kuliah itu meninggalkan keluarga tercinta, istri Maya Veri Oktavia, dan empat anak, Vina Rohmatul Ummah, Muhammad Hasan Turki, Ahmad Hafid Mujtaba, dan Syifana Nur Madinah, para santri, mahasiswa, jama'ah pengajian, kawan setia, pembaca setia buku-bukunya, menuju kehadirat Allah SWT.


Penulis pertama kali berjumpa dengan kiai yang akrab dipanggil Gus Zainal (Allahu Yarham) ketika ada acara bedah novel santri di Aula Pondok Pesantren Tebuireng Jombang tahun 2001. Pada waktu itu, Gus Zainal memberikan motivasi besar kepada para santri untuk mulai berlatih menulis, mengikuti sejak ulama-ulama kita yang telah meninggalkan jutaan kitab sebagai peninggalan yang sangat berharga. Tulisan dalam bentuk apapun, artikel, essai, puisi, novel, buku, kitab, dan apapun namanya sangat berguna bagi generasi sesudahnya, ia senantiasa kekal abadi, tidak lekang dimakan usia. Imam Ghozali berkata "Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis." (Zaenal Arifin Thoha, Aku Menulis Maka Aku Ada, Kutub, 2005).


Gus Zaenal telah membuktikan pesan Imam Ghozali tersebut. Lewat perjuangan keras dan semangat tinggi tanpa kenal lelah, Gus Zaenal Zainal telah sukses mengabadikan pemikirannnya dalam banyak karya, Diantaranya, dalam bentuk antologi puisi, Ketakutan, Musium, Sendyakala, Risalah badai, Rumpun Bambu, Tamansari, Embun Tajalli, Sembilan Penyair Muda Indonesia, antologi puisi tunggal, Air Mata Hati, Harakat Pertemuan, Buku umum, Membangun Budaya Kerakyatan : Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Kenyelenehan Gus Dur, Gugatan Kaum Muda NU dan Tantangan Kebudayaan, Runtuhnya Singgasana Kiai, NU, Pesantren dan Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai, Jagadnya Gus Dur, Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, Korupsi dalam Perspektif Agama-agama:Panduan untuk Pemuka Umat, Dibalik Bencana-bencana, 3M: Muda Muslim Mandiri, 3B: Berusaha Berhasil Barakah, terjemahan, Jiwa-jiwa Auliya', Mengenal cinta menangkal bahaya, Nasehat penting bagi para pelajar dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari, Atas Segala Rahasia, Orang-orang Ruhani, dan lain-lain.


Orangnya yang enak diajak ngobrol, ramah, humoris, tidak membedakan latar belakang teman bicaranya, dan selalu ringan tangan membantu kesusahan dan kesedihan orang lain, membuatnya selalu terkenang selamanya dalam sanubari orang-orang yang mengenal kepribadiannya. Saya sendiri, sangat terkejut mendengar kematian orang yang saya kagumi ini secara mendadak. Ketika kami undang ke Pati untuk acara bedah buku terbitan Kutub yang dikelolanya bersama para santri, beliau datang dengan tangan terbuka, tidak minta pelayanan apapun, menerima keterbatasan panitia, dan selalu membuka senyum.


Ketika mampir di Gubug reot saya, pesan yang selalu saya ingat kata-kata Gus Zaenal dengan penuh perhatian 'orang kalau ingin tetap dinamis-produktif-kontemplatif, harus membaca buku-buku sastra'. Pesan ini walaupun sampai sekarang belum saya laksanakan, tapi menjadi spirit produktifitas menulis saya sebagai media mengabadikan konsep dan pemikiran. Orang akan lebih tercengang ketika melihat Gus Zaenal langsung di tempat dimana ia membesarkan anak-anaknya dan para santri yang menimba ilmu darinya.




Para santri yang mondok di pondoknya yang diberi nama Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari, adalah mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Para santri diajari bagaimana cara hidup mandiri, lepas dari orang tuanya, dengan menulis di media masa, menjual koran, buku, mengelola penerbitan, dan usaha lainnya. Perjuangannya membesarkan para santri ini adalah refleksi dari kehidupannya semasa menginjakkan kaki di Yogyakarta yang tanpa bantuan orang tuanya, ia berani hidup mandiri, untuk hidup dan membiayai kuliah di Yogyakarta. Menulis adalah salah satu atau profesi terbesar yang menghidupinya selama di Yogyakarta ini.


Saya termasuk orang yang menitipkan saudara kandung saya, Muhammadun AS, untuk ngangsu kaweruh (belajar) ditempatnya. Alhamdulillah ada kemajuan besar yang saya lihat dari adik saya setelah dididik oleh Gus Zaenal ini. Sewaktu pulang ke Pati, sering saya tanya soal kebutuhan hidup harian, dengan agak berat, adik saya mengatakan, Gus Zaenal yang selalu menutup kebutuhan hidup para santrinya, ketika para santri tidak punya beras, maka Gus Zaenal yang membelikannya. Begitu juga dengan uang sewaan yang sekarang menjadi lokasi pondok, tempat para santri belajar, bersendau gurau, dan istirahat.


Perjuangan Gus Zaenal sudah menampakkan sukses yang gemilang. Pondok pesantren Hasyim Asy'ari yang sebelumnya dipandang remeh, karena bangunannya yang jelek dan kumuh, santrinya yang tidak dari kalangan orang berada, saat ini muncul di Yogyakarta sebagai pondok yang sukses melahirkan penulis-penulis muda yang selalu menghiasi media masa, misalnya nama Gugun El-Guyani, Muhammadun As, dan lain-lain.


Kegigihan Gus Zaenal ini juga didukung oleh kekuatan spiritual yang mendalam. Tasawuf (ilmu untuk membersihkan hati) sangat mempengaruhi karakter, kepribadian, dan sepak terjangnya. Sebagai seorang muballigh yang selalu mengisi ceramah di banyak tempat, pedesaan, rasio, instansi pemerintah dan swasta, membawanya pada kesadaran spiritual yang dalam. Hadits Nabi 'la yu'minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi ma yuhibba linafsihi', tidak dibilang sempurna iman seseorang dari kamu semua, sebelum ia mampu mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri, betul-betul dipraktekkan dalam kehidupannya. Beliau memang seorang humanis-spiritual. Orang yang mudah tersentuh oleh penderitaan dan kesusahan orang lain dan berjuang untuk membahagiakan orang tersebut. Penghayatannya yang mendalam akan ajaran agama yang dibawanya sejak kecil membuatnya ringan tangan dalam melakukan kerja-kerja sosial-humanistik yang sarat pahala.


Keluarga, masyarakat, santri, mahasiswa, teman, pembaca buku-bukumu, dan semua orang yang mengerti karakter dan kepribadianmu selalu mengenang perjuanganmu dan mendo'akan semoga semua jasa-jasamu diterima oleh Allah Swt., dibalas dengan balasan yang setimpal, dan semoga selalu dalam limpahan karunia dan ridlo-Nya, amien.


Jamal Ma'mur Asmani


Teman sekaligus murid Gus Zaenal Arifin Thoha


Halal-bihalal dan Toleransi Beragama

Posted by hanikhusna123.blogspot.com On 02.00 0 komentar

Halal-bihalal dan Toleransi Beragama


25 Oktober 2006


Oleh; Rizqon Khamami, Mahasiswa Pasca Sarjana Jamia Millia Islamia (JMI) New Delhi, India.



Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya. Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri.


Idul Fitri memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian. Idul Fitri diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci. Kelahiran seorang manusia, dalam kaca Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, masih dalam pandangan Islam, diibaratkan secarik kertas putih. Kelak, orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya.


Dan dalam kenyataannya, perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya. Itulah makna Idul Fitri. Dosa yang paling sering dilakukan manusia adalah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok.


Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.


Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman.


Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab ââ'¬Ëœhalalââ'¬â"¢ yang diapit dengan satu kata penghubung ââ'¬Ëœbaââ'¬â"¢ (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu.


Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini. Kata ââ'¬Ëœhalalââ'¬â"¢ memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata ââ'¬Ëœhalalââ'¬â"¢ adalah lawan dari kata ââ'¬Ëœharamââ'¬â"¢. Kedua, berarti ââ'¬Ëœbaikââ'¬â"¢. Dalam pengertian kedua, kata ââ'¬Ëœhalalââ'¬â"¢ terkait dengan status kelayakan sebuah makanan. Dalam pengertian terakhir selalu dikaitkan dengan kata thayyib (baik). Akan tetapi, tidak semua yang halal selalu berarti baik. Ambil contoh, misalnya talak (Arab: Thalaq; arti: cerai), seperti ditegaskan Rasulullah SAW: Talak adalah halal, namun sangat dibenci (berarti tidak baik). Jadi, dalam hal ini, ukuran halal yang patut dijadikan


pedoman, selain makna ââ'¬Ëœdiperkenankanââ'¬â"¢, adalah yang baik dan yang menyenangkan. Sebagai sebuah tradisi khas masyarakat Melayu, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis? Dalam Al Qurââ'¬â"¢an, (Ali 'Imron: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain.


Dari ayat ini, selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan.


Lebih luas lagi, berhalal-bihalal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain. Dan perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran.


Akan tetapi, harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal-bihalal yang merupakan tradisi khas rumpun bangsa tersebut merefleksikan bahwa Islam di negara-negara tersebut sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan.


Ini sesuai dengan Firman Allah, ââ'¬Å"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan". (Q.S. 2:148). Titik tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (SWT), ââ'¬Å"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa". (Q.S. 2:177)


Berangkat dari makna halal-bihalal seperti tersebut di atas, pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik, memaafkan orang lain dan saling berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia dan di negara-negara rumpun Melayu lainnya. Akhirnya, Islam di wilayah ini adalah Islam rahmatan lil ââ'¬Ëœalamiin. Wallau aââ'¬â"¢lam. (Sumber;pesantrenvirtual.com


Posted by hanikhusna123.blogspot.com On 09.22 0 komentar

Kendala berpromosi di situs yang populer adalah biaya dan banyaknya pemasang iklan lain. Situs yang memiliki peringkat Alexa Rank tinggi, tentu saja akan memasang tarif yang mahal. Apalagi kalau promosi kita berupa iklan baris atau iklan SMS atau publikasi sejenisnya. Banyaknya pemasang iklan di situs tersebut akan membuat kesempatan iklan kita bertengger di atas sangat sedikit. Dengan serta merta promosi berikutnya akan menggeser promosi kita ke bawah atau hilang dari halaman pertama.

The second best, adalah berpromosi melalui situs iklan baris gratis yang saat ini jumlahnya lebih dari 200 situs. Meskipun tidak seluruhnya, iklan kita akan mencapai target pasar melalui sebagian besar dari 200an situs tersebut. Dan perlu diketahui, meskipun tidak papan atas, situs iklan baris gratis biasanya memiliki Alexa Rank tingkat menengah. Jadi, beriklan di situs iklan baris gratis akan mendatangkan pengunjung sekaligus mendatangi crawler.


api tunggu dulu, bayangkan berapa waktu yang akan Anda butuhkan untuk memasang iklan di 200an situs iklan baris gratis tersebut? Bisa jadi 24 sehari tidak cukup untuk memasang iklan di 200an situs, belum lagi berapa biaya koneksi yang anda butuhkan untuk akses ke 200an situs tersebut. Jangan berkecil hati, telah kami hadirkan software SuryaPromo. SuryaPromo akan merubah pilihan memasang iklan di situs iklan baris gratis dari the second best menjadi the best.

Posted by hanikhusna123.blogspot.com On 03.35 0 komentar

MAKNA OSCILASI 40 Hertz.
OTAK = ALAM SEMESTA
Robert Flued Seorang dokter di abad XVII menyatakan bahwa Alam Semesta ada dalam kepala manusia. Jika Alam semesta terdiri dari : Tuhan, Dunia, dan Manusia Otak manusia berisikan bud (Mundus Intelektus) daya chayal (Mundus Imajinable) rasa/ Pengideraan (Mundus Sensibilis).

Hebert Benson menyatakan Otak ≈ Seorang Seniman ≈ Seorang Ahli Kimia≈ Seorang Ahli Teknik ≈ Eksekutor. Mustahil disamai oleh peralatan/ mesin buatan manusia.
Ahli Jiwa Penganut Materialistik Sigmund Frued menyatakan bahwa Otak adalah Segala-galanya. : Refleksi Jiwa, Cermin Kepribadian, Tempat Ruch bermukim. Tingkah Laku manusia apa yang dipikir, apa yang dirasa, apa yang dilakukan merupakan hasil bersinerginya milyardan sel-sel otak (Neuron) jutaan rangkaian jaringan dan terminal-terminal yang menyusunnya.
Secara Biologis sebagai pusat pemrosesan yang menghasilkan aktifitas tubuh, baik dalam kegiatan sadar maupun tidak sadar.”THE BRAIN IS THE WIDER THEN THE SKY, THE BRAIN IS DEEPER THAN THE SEA”
Secara structural menempati pada posisi paling tinggi dibandingkan dengan organ tubuh yang lainnya. Secara fungsional Otak sebagai Pusat Komando dan Pengendalian Operasional (PUSKODALOPS).